Pidato
 Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 
16 Agustus 2010 yang lalu walau pun dinilai sebagian pengamat adalah 
pidato normatif, yang memang merupakan ciri dari semua pidato-pidato 
Presiden Republik Indonesia ke-VI ini, akan tetapi tetap juga harus 
dicermati. Dalam pidatonya Presiden selaku pemangku tertinggi jalannya 
kebijakan pemerintahan menyampaikan RAPBN 2011 yang telah disusunnya 
bersama dengan semua staf ahli-ahli keuangan yang berada disekitarnya. 
Menarik
 memang untuk dicermati, apalagi setelah keluarnya desakan dari anggota 
DPR kepada pemerintah untuk menyusun ulang RAPBN 2011 yang dianggap 
tidak mencerminkan kondisi riil perekonomian Indonesia. Sorotan DPR 
terutama pada target pertumbuhan dan rasio penerimaan pajak yang 
ditetapkan (menurut anggota DPR) terlalu rendah. Belum lagi penolakan 
anggota dewan atas beberapa kebijakan yang bersinggungan langsung dengan
 rakyat, kenaikan Tarif Dasar Listrik dan kenaikan Bahan Bakar Minyak 
pada tahun 2011 nanti, dianggap justru akan melemahkan kemampuan daya 
saing lokal (konsumsi dan industri). Penting untuk menganggap 
rasionalitas pesan dari senayan tersebut. Dengan perekonomian global 
yang mulai pulih, logikanya probabilitas pertumbuhan ekonomi dapat lebih
 tinggi pula, juga seharusnya lebih besar. Jika ditahun ini (sampai 
kuartal ketiga) perekonomian kita dapat tumbuh 6 persen, tahun depan 
(dengan memakai logika yang benar) semestinya perekonomian kita dapat 
lebih tinggi lagi. Dengan target pertumbuhan yang hanya 6,3 persen saja 
sulit untuk menurunkan kemiskinan dan pengangguran secara signifikan. 
Akan
 tetapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, kesan yang timbul adalah 
pemerintah cenderung sangat konservatif dan bekerja apa adanya. Tak ada 
optimisme dan keinginan kuat bekerja lebih keras untuk mewujudkan 
pertumbuhan dan rasio pajak lebih tinggi agar dapat menekan angka 
kemiskinan, yang justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Itu baru 
bicara angkanya saja, belum soal kualitasnya! Sampai sejauh 
mana setiap persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan perbaikan 
kesejahteraan bagi rakyat yang terpinggirkan, terutama dalam bentuk 
pengurangan kemiskinan dan pengangguran, dan pada saat bersamaan 
mengurangi ketimpangan. 
Volume
 APBN terus melembung, ini sudah menjadi rahasia umum dari tahun ke 
tahun. Namun hal ini sering kali tidak berkorelasi langsung dengan 
tingkat kesejahteraan mayoritas rakyat sehingga hal ini memunculkan 
pertanyaan, siapa sebenarnya yang menikmati pembangunan? Jika memakai 
batas garis kemiskinan 2 dollar per hari dari bank dunia (sejak tahun 
2007), jumlah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin di Indonesia 
adalah 108,78 juta (49%). Merekalah yang seharusnya menjadi pokok utama 
dari penyusunan dan realisasi APBN. Politik pengentasan kemiskinan 
menjamin hak-hak ekonomi warga. Ketidakadilan sosial adalah potret 
kegagalan pemerintah dalam mendekonstruksi struktur-struktur yang tidak 
adil. Makin hari semakin pemerintah mendengungkan bahwa
 tak adil dan tak sehat terlalu bergantung pada APBN, tetapi disitulah 
peran negara dan APBN sebagai instrumen negara untuk mengendalikan arah 
pembangunan.
Dalam
 berbagai kasus, rendahnya kualitas pertumbuhan dibandingkan dengan 
potensi dan rendahnya kualitas pertumbuhan tidak terlepas dari kebijakan
 pemerintah yang justru tidak berpihak terhadap orang miskin, tidak pro 
pada pemerataan pembangunan, dan tidak pro pada mereka yang mencari 
pekerjaan yang lebih baik. Termasuk diantaranya kebijakan yang 
meninggalkan sektor pertanian dan industri manufaktur padat karya yang 
menyerap banyak lapangan kerja dan justru lebih menekankan pada industri
 ekstraktif serta eksploitasi sumber daya alam dengan lebih banyak 
melibatkan perusahaan berbasis internasional. Setelah proses produksi 
berjalan dan menghasilkan produk, hasilnya justru tak dapat dirasakan 
oleh mayoritas rakyat karena sebagian besar merupakan hak dari 
perusahaan internasional mitra kerja sama pemerintah.
Konteks
 kaitannya dengan APBN 2011 adalah adanya kecenderungan bangsa ini 
terjebak dalam rutinitas tahunan dan terpaku pada angka-angka asumsi 
makroekonomi APBN serta melupakan aspek ideologi dari pembangunan itu 
sendiri. IHSG kita memang saat ini diakui sebagai indeks bursa terbaik 
didunia, namun sekiranya tidak dilupakan juga bahwa salah satu yang 
membuat perekonomian kita anjlok tahun 1997 adalah datang dari kaburnya 
saham-saham asing yang ditanam di IHSG. Tak dapat diingkari bahwa yang 
berhasil menopang perekonomian Indonesia sejak diterpa krisis ekonomi 
1997 adalah datang dari sektor mikroekonomi yang pada pidato presiden 
kemarin tidak banyak diberikan porsinya dalam APBN. 
Politik
 anggaran kian dirasakan kian makin jauh dari amanat konstitusi, yang 
didengung-dengungkan justru oleh pemerintah itu sendiri. Tidak ada 
target defenitif perbaikan kesejahteraan rakyat dan APBN gagal 
menjalankan fungsinya sebagai instrumen pemerataan dan keadilan sosial. 
Belum lagi kalau sinyalemen bahwa angka kebocoran APBN 20-30 persen 
setiap tahunnya itu ternyata benar. Karena itu, jangan heran sampai muncul anggapan bahwa negara sudah gagal mensejahterakan rakyat.

 
 Postingan
Postingan
 
 
 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar