Jumat, 15 Juni 2012

Peran APBN 2011 dalam Pertumbuhan Ekonomi

 

12915502692082005263 

Pidato Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2010 yang lalu walau pun dinilai sebagian pengamat adalah pidato normatif, yang memang merupakan ciri dari semua pidato-pidato Presiden Republik Indonesia ke-VI ini, akan tetapi tetap juga harus dicermati. Dalam pidatonya Presiden selaku pemangku tertinggi jalannya kebijakan pemerintahan menyampaikan RAPBN 2011 yang telah disusunnya bersama dengan semua staf ahli-ahli keuangan yang berada disekitarnya.
Menarik memang untuk dicermati, apalagi setelah keluarnya desakan dari anggota DPR kepada pemerintah untuk menyusun ulang RAPBN 2011 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi riil perekonomian Indonesia. Sorotan DPR terutama pada target pertumbuhan dan rasio penerimaan pajak yang ditetapkan (menurut anggota DPR) terlalu rendah. Belum lagi penolakan anggota dewan atas beberapa kebijakan yang bersinggungan langsung dengan rakyat, kenaikan Tarif Dasar Listrik dan kenaikan Bahan Bakar Minyak pada tahun 2011 nanti, dianggap justru akan melemahkan kemampuan daya saing lokal (konsumsi dan industri). Penting untuk menganggap rasionalitas pesan dari senayan tersebut. Dengan perekonomian global yang mulai pulih, logikanya probabilitas pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi pula, juga seharusnya lebih besar. Jika ditahun ini (sampai kuartal ketiga) perekonomian kita dapat tumbuh 6 persen, tahun depan (dengan memakai logika yang benar) semestinya perekonomian kita dapat lebih tinggi lagi. Dengan target pertumbuhan yang hanya 6,3 persen saja sulit untuk menurunkan kemiskinan dan pengangguran secara signifikan.
Akan tetapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, kesan yang timbul adalah pemerintah cenderung sangat konservatif dan bekerja apa adanya. Tak ada optimisme dan keinginan kuat bekerja lebih keras untuk mewujudkan pertumbuhan dan rasio pajak lebih tinggi agar dapat menekan angka kemiskinan, yang justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Itu baru bicara angkanya saja, belum soal kualitasnya! Sampai sejauh mana setiap persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat yang terpinggirkan, terutama dalam bentuk pengurangan kemiskinan dan pengangguran, dan pada saat bersamaan mengurangi ketimpangan.
Volume APBN terus melembung, ini sudah menjadi rahasia umum dari tahun ke tahun. Namun hal ini sering kali tidak berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan mayoritas rakyat sehingga hal ini memunculkan pertanyaan, siapa sebenarnya yang menikmati pembangunan? Jika memakai batas garis kemiskinan 2 dollar per hari dari bank dunia (sejak tahun 2007), jumlah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin di Indonesia adalah 108,78 juta (49%). Merekalah yang seharusnya menjadi pokok utama dari penyusunan dan realisasi APBN. Politik pengentasan kemiskinan menjamin hak-hak ekonomi warga. Ketidakadilan sosial adalah potret kegagalan pemerintah dalam mendekonstruksi struktur-struktur yang tidak adil. Makin hari semakin pemerintah mendengungkan bahwa tak adil dan tak sehat terlalu bergantung pada APBN, tetapi disitulah peran negara dan APBN sebagai instrumen negara untuk mengendalikan arah pembangunan.
Dalam berbagai kasus, rendahnya kualitas pertumbuhan dibandingkan dengan potensi dan rendahnya kualitas pertumbuhan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang justru tidak berpihak terhadap orang miskin, tidak pro pada pemerataan pembangunan, dan tidak pro pada mereka yang mencari pekerjaan yang lebih baik. Termasuk diantaranya kebijakan yang meninggalkan sektor pertanian dan industri manufaktur padat karya yang menyerap banyak lapangan kerja dan justru lebih menekankan pada industri ekstraktif serta eksploitasi sumber daya alam dengan lebih banyak melibatkan perusahaan berbasis internasional. Setelah proses produksi berjalan dan menghasilkan produk, hasilnya justru tak dapat dirasakan oleh mayoritas rakyat karena sebagian besar merupakan hak dari perusahaan internasional mitra kerja sama pemerintah.
Konteks kaitannya dengan APBN 2011 adalah adanya kecenderungan bangsa ini terjebak dalam rutinitas tahunan dan terpaku pada angka-angka asumsi makroekonomi APBN serta melupakan aspek ideologi dari pembangunan itu sendiri. IHSG kita memang saat ini diakui sebagai indeks bursa terbaik didunia, namun sekiranya tidak dilupakan juga bahwa salah satu yang membuat perekonomian kita anjlok tahun 1997 adalah datang dari kaburnya saham-saham asing yang ditanam di IHSG. Tak dapat diingkari bahwa yang berhasil menopang perekonomian Indonesia sejak diterpa krisis ekonomi 1997 adalah datang dari sektor mikroekonomi yang pada pidato presiden kemarin tidak banyak diberikan porsinya dalam APBN.
Politik anggaran kian dirasakan kian makin jauh dari amanat konstitusi, yang didengung-dengungkan justru oleh pemerintah itu sendiri. Tidak ada target defenitif perbaikan kesejahteraan rakyat dan APBN gagal menjalankan fungsinya sebagai instrumen pemerataan dan keadilan sosial. Belum lagi kalau sinyalemen bahwa angka kebocoran APBN 20-30 persen setiap tahunnya itu ternyata benar. Karena itu, jangan heran sampai muncul anggapan bahwa negara sudah gagal mensejahterakan rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar